Sahabat Kecil by Gita Tunggal Crescendo Singers League

Minggu, 19 April 2015

The Moment of Silence

Mendengar kabar kepergian Kak Monce, teringat lagi kayanya dalam setahun ini aku banyak mendengar kabar duka. Bukan meninggalnya seorang relasi atau keluarga dari seorang teman, tapi teman sendiri. Secara urutan waktu dimulai dari Kak Wisnu, Amel, Gaston, Deni, hingga Kak Monce. Well, kelima nama ini sebenarnya aku ga kenal banget atau hanya kenal sangat sebentar. Tapi kok perasaan kehilangannya sampai segininya ya?

+++++

Kak Wisnu, Gaston, dan Kak Monce sepengenalanku merupakan orang-orang siap tempur terhadap pelayanan, khususnya pelayanan siswa. Mendengar berbagai kesaksian hidup mereka kadang membuat aku berpikir dan menyadari kesungguhan hati untuk melayani Tuhan. Melihat juga pelayanan mereka telah memberi buah yang baik dan aku melihat buah itu secara nyata. Yah kalo dibandingin sama gue sih, hahahahah aku mah apa atuh....

+++++

Bersyukur telah mengikuti ibadah penutupan dan pemakaman Kak Monce hari ini. Entah kenapa tadi tiba-tiba terlintas nada-nada lagu dan baru nyadar itu lagu 'Hymn of Promise" karya Natalie Sleeth. Kebetulan kah jika waktunya begitu tepat? Saat membaca sambil bersenandung lagu itu, ternyata lagu ini sangat dalam maknanya! Aku baru sadar saat itu setelah selama ini menyanyikannya yah seadanya. Dari ketiga bait tersebut, bait ketiga yang sangat aku nikmati pada saat ini:




In our end is our beginning; In our time, infinity.
In our doubt, there is believing; In our life, eternity
In our death, a resurrection; At the last, a victory.
Unreaveled until its season, Something God alone can see



Sleeth had the ability to compose both texts and music. Though "Hymn of Promise" has become a favorite hymn for funerals, it was written at a time when the author states that she was "pondering the ideas of life, death, spring and winter, Good Friday and Easter, and the whole reawakening of the world that happens every spring." Inspired by a T.S. Eliot line, the germ of the hymn grew from the idea "in our end is our beginning," the phase that begins the third stanza of the hymn. 
(source: http://www.umcdiscipleship.org/resources/history-of-hymns-in-the-bulb-there-is-a-flower)

The time is so perfect!! In His Time
......

+++++

Melihat PKK ku -Kak Lukas- yang begitu begitu menikmati pelayanan dari PKKnya -Kak Monce-, akhirnya aku memahami bahwa pemuridan di dalam KK tidak sedangkal apa yang aku pikirkan selama ini.

PKK berarti memberikan perhatian bagi AKKnya dengan penuh kasih. 
Setidaknya itulah yang aku lihat dari teladan orang-orang hebat ini. Kasih yang bersedia mau mendoakan AKKnya. Kasih yang selalu berjalan bersama AKKnya. Kasih yang begitu murni.

PKK mewariskan apa yang telah ia nikmati di KK sebelumnya kepada KK yang sekarang ia pegang.
Hal ini sangat terlihat jelas. Buah pelayanan ini sangat terasa. Apa yang telah dinikmati oleh Kak Lukas bersama Kak Monce, Kak Lukas juga menerapkannya padaku. PKK perlu untuk meneruskan visi tersebut kepada setiap AKK sehingga AKK tersebut boleh menjadi murid dan terpanggil untuk menjadi PKK. Menarik, Kak Monce berprofesi sebagai dokter, pernah menjadi koordinator wilayah PSK Depok, dan menjadi pelayan mimbar di suatu ibadah atau event. Ketiga hal tersebut diwariskan kepada AKKnya. Panggilan sebagai dokter kepada Kak Evan, panggilan sebagai koordinator wilayah PSK Depok kepada Kak Lukas, panggilan untuk melayani sebagai pelayan mimbar di suatu ibadah atau event kepada Kak Richard. Seolah-olah bagian dari hidup Kak Monce menjelma pada masing-masing AKKnya.

So, what about me?

+++++

Gaston, panggilannya untuk menjadi dokter di Solo membawa dampak bagi orang-orang sekitarnya. Mengetahui pergumulannya saat memilih jurusan dan kampus antara FK UNS atau FKM UI. Waktu itu sih pengennya dia di UI aja biar bisa jadi TPS juga. Tapi, Dia memilih untuk taat pada panggilan Allah. Setelah kepergiannya, barulah aku mengerti cara Tuhan menarik Gaston ke Solo supaya orang-orang di sana bisa melihat kemuliaan-Nya melalui pelayanannya di sana. Seorang muda yang sudah dapat taat terhadap panggilan Bapa







"Remember we were together and committed to build Indonesia? That spirit, as a new Nehemiah..
And now I only wish I could see you again
Terima kasih, rekan sekerja dan saudara terkasih"
20 Desember 2014


Seharusnya, kami bertemu kembali di KKR Siswa 2015. Tapi, Tuhan berkata lain.








+++++

Kak Wisnu, ketua Rohkris Smansa 30 dan seorang kakak dari seorang teman sekaligus juga teladan. Masih ingat ketika retreat Smansa pertama kali aku melihat Kak Wisnu saat teduh dan doa. Yah keliatan aja karena dia sate sama doanya di tempat yang bisa dilewati semua orang. Waktu itu aku mau ke lantai atas dan melihat dia lagi sate. Saat aku turun dari lantai atas aku melihat dia masih dalam doa. Perasaanku cukup lama aku menghabiskan waktu di lantai atas dan sangat kaget melihat dia masih setia bersekutu dengan Bapa. Waktu itu sih mikirnya "Gila ini orang lama bener dah doanya". Akhirnya aku mengerti sekarang, Kak Wisnu merupakan orang yang sangat rindu untuk bersekutu dengan Bapa. Bersyukur juga sih gua sempet curi-curi ilmu buat aransemen lagu dari dia hahahahah...

+++++

Amel dan Deni terlintas juga karena ada sesuatu yang yah begitulah.. Amel ga kenal baik sih sebenernya. Hanya saat melihat visinya untuk menjadi dokter di Palestina suatu saat nanti itu sempat membuatku takjub. Harus aku akui bahwa visi melayani dia untuk menjadi dokter begitu tulus. Deni, seorang asisten dokter dari seorang sahabat. Intinya, aku sangat bersyukur bisa mengenal dia dan ada rasa sesal luar biasa ketika aku memutuskan kontak sama sekali dengannya. Bahkan, aku sempat salah menilainya. Andai waktu dapat berputar ulang...

+++++

Entahlah, ada aransemen yang begitu membekas dari Kak Wisnu dan Kak Monce. Sepertinya, melodi dan harmoni itu punya kesan tersendiri.

+++++

"Orang-orang yang telah dipanggil Tuhan untuk bersama-sama dengan Dia berarti bahwa tugas yang diberikan bagi mereka telah selesai. Kita yang masih hidup di dunia ini berarti bahwa ada pekerjaan bagi Tuhan yang belum kita selesaikan" Bang Zeki

Unfinished

Minggu, 12 April 2015

Love Through Emotion

Diperbudak....
Dibelenggu....
Nestapa....
Titik nadir....

Apa lagi?
Apa lagi kata yang bisa menggambarkan suatu kehancuran hanya karena 'god of love'...

Coba bandingkan!
Perasaan yang hancur ketika aku melihat dia mendekati orang lain.
Mendoakan orang lain.. Berarti ada keseriusan..
Well, it hurts.

But, while I was on the way home, I realized something...

Memahami bahwa kita adalah citra Allah. Yang ada dipikran paling hanya mencakup aspek fisik dan aspek rohani. Namun, salah satu citra Allah dalam diri kita, yang jarang pernah kita hayati adalah aspek emosi. Aku merenungkan emosi Bapa terhadap Anak-Nya.

Bagaimana perasaan Bapa ketika melihat Anak-Nya yang sangat dikasihi-Nya mati?
Bagaimana perasaan dilematis Bapa ketika diperhadapkan antara keadilan dan kasih?
Bapa yang seperti apa yang tega ketika melihat anaknya mati secara tragis?

"Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya." (Yesaya 53: 7)

ANAK ALLAH DIBANTAI!
SANG ANAK DOMBA DIBANTAI! 
YANG TIDAK BERSALAH DIBANTAI! 

Iya, dibantai! Pernah melihat pembantaian? Mati secara hina. Mati secara keji.

Selama aku menjadi Kristen, aku belum pernah membaca nubuat Yesaya mengenai Kristus yang akan mati. Yang aku tahu, Kristus mati secara mengenaskan hanya untuk menunjukkan kasih-Nya yang tak bersyarat bagi kita. Sepanjang aku membaca Kitab Injil maupun Surat Paulus selama ini, aku belum pernah menemukan kata "pembantaian". Penglihatan Yesaya sangat baik!

Dan sekarang ketika aku membandingkan emosiku (kesedihan) dengan emosi Bapa, apakah emosi yang kurasakan ini sebegitu dalamnya dengan emosi yang Bapa rasakan? Bukankah lebih pedih bagi Bapa melihat Anak-Nya sendiri dibantai daripada hanya melihat ada orang yang aku doakan sedang mendoakan orang lain?

Kesedihanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesedihan Bapa.

Perasaan ini aneh. Pernahkah kau merasa: "aku ga bisa sedih hanya karena hal itu saat aku menyadari ada emosi yang jauh lebih sedih ketika seorang bapa melihat anaknya sendiri dibantai?"
Aku hanya bisa menangis kali ini. Lemah? Silahkan saja berkomentar sesuka hati.

Namun, untuk kali ini air mata yang turun bukanlah air mata penderitaan, bukan air mata nestapa, tapi air mata haru melihat kasih Bapa yang begitu luar biasa!
Air mata kelegaan.
Air mata pembebasan.
Air mata damai.

Aku sangat bersyukur bisa diperkenalkan dengan Injil. Satu hari yang merubah diriku sepenuhnya. Jika di luar sana ada orang yang pelayanan dan hidupnya kacau (no offense) hanya karena 'god of love', menjadi tidak fokus kepada Allah, bahkan bunuh diri karena frustasi akan cinta, maka aku sangat bersyukur Allah menyelamatkanku.  Kini, ketika aku melihat pergumulan, yang perlu aku lakukan hanya melihat kepada Salib.

Karena Salib adalah tempat semua jawaban atas semua hidupmu.