"Ladies and gentlemen!!"
As the host starts the magnificent masterpiece!
Sangat layak jika sambutan itu berada dalam sebuah opera. Perpaduan anggunnya sebuah tarian, elegannya kostum panggung, harmoninya sebuah orkestra, dan megahnya sebuah alur cerita. "Phantom of The Opera" adalah sebuah karya yang mengagumkan. Bersyukur pernah menyanyikan salah satu lagu dari opera tersebut yang berjudul "Masquerade". Yah walaupun ga ada apa-apanya jika dibandingkan yang asli.
TAK SELALU INDAH
Masquerade
Paper faces on parade
Masquerade
Hide your face so the world will never find you
Sepenggal lirik dari lagu tersebut yang mewakili kekuatan magis dari sebuah 'masquerade'. Masih diiringi harmoni orkestra, para pemain menyanyikannya dengan teknik vokal kelas dunia serta dibumbu aroma romansa, pertikaian, dan tragedi khas sebuah opera. Sungguh mengagumkan! Sebuah mahakarya terakbar yang pernah dibuat.
Namun, mungkinkah indahnya sebuah 'masquerade' menyimpan kisah lain dibaliknya? Inilah kisah di belakang layar.
Adolf Eichmann dijuluki sebagai "The Bureaucrat Killer" oleh sebuah situs www.holocaustresearchproject.org yang mencatat kisah-kisah kelam sebuah pembantaian rasial massal yang menjadi aib dari peradaban manusia, holocaust. Bersama dengan Nazi, dia menjadi oknum yang bertanggung jawab atas melayangnya nyawa ribuan orang. Bagaikan binatang, manusia pun diperlakukan seperti itu. Hmm mungkin lebih rendah dari itu.
Namun, beberapa orang yang jadi korban holocaust ternyata merupakan keluarga dari Peter Malkin. Tentu ada kepahitan dalam kedalaman hati Malkin. Sepertinya, ini yang menjadi alasan Malkin untuk memburu Eichmann, bahkan sampai ke negeri 'Tango' dimana Adolf Eichmann bersembunyi. Tahun 1960, Malkin menjalankan operasi penangkapan Eichmann bersama dengan Mossad Israel.
Tak henti-hentinya Malkin mengawasi gerak-gerik Eichmann dalam persebunyiannya. Melihat Eichmann bermain bersama seorang anak laki-laki kecil, Malkin menjadi teringat dengan keponakannya yang berusia 6 tahun, Peter, yang menjadi korban kekejian Nazi. Sampai suatu hari, Malkin berhasil menangkap Eichmann dalam drama penculikan ke dalam mobil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Menjelang akhir kematiannya, Eichmann ditanya oleh Malkin mengenai setiap tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Mengapa bisa tidak merasa bersalah setelah membantai ribuan nyawa orang? Tak puas dengan itu, ia kembali menanyakan anak kecil yang berada bersamanya di dalam persembunyiannya. Malkin menanyakan tepat pada saat Eichmann merindukan anak kecil yang dimaksud, yaitu putranya sendiri.
"Anak laki-laki, kakak perempuan saya, teman main kesayangan saya, dia seumur anak laki-lakimu.. juga pirang dan bermata biru, sama seperti anakmu. Dan, kau membunuhnya?"
"Tapi, keponakanmu orang Yahudi, kan?"
...
Sebuah fakta sejarah yang diangkat oleh Ravi Zacharias dalam bukunya Cries of The Heart untuk menggambarkan betapa mengerikannya nyawa manusia yang diremehkan. Mungkin, kalau aku ada di posisi Malkin, aku akan dengan senang hati menjadi eksekutor kematian Eichmann. Bukankah mengejutkan melihat tipikal ayah yang begitu dekat dengan anaknya memiliki kisah kelam yang terus tersebunyi di balik sebuah topeng? Keindahan topeng yang dikenakan Eichmann dinodai oleh darahnya sendiri.
"Hide your face so the world will never find you" dari lagu "Masquerade" mungkin bisa menjadi sebuah theme song yang tepat untuk mengiringi pemakamannya dan lirik tersebut dapat dialamatkan kepada batu nisan Adolf Eichmann. Oh! Sepertinya aku mau mengoreksi tulisanku tadi "...kisah-kisah kelam sebuah pembantaian rasial massal yang menjadi aib dari peradaban manusia..." Kata yang lebih tepat adalah kebiadaban manusia.
APA YANG ADA DI BALIK TOPENG
"Kebencian bertopeng ketenangan itu mengerikan"
Ravi Zacharias - Cries of The Heart
Apakah aku lebih baik dari Adolf Eichmann? Tidak juga. Aku juga memakai topeng yang sama seperti Eichmann. Nafsu membunuh itu sangat nyata. Pengaruh buruk dari lingkungan masa lalu? Atau kepingan kepahitan yang telah menggunung? Keduanya mungkin bisa menjadi benar. Tetapi tetap saja akarnya adalah dosa yang tak akan tertutupi topeng apapun oleh kejelian mata Sang Sutradara.
Menjadi anak durhaka, melarikan diri dari tanggung jawab, dan menjadi pemberontak Allah. Kurang apa lagi? Kalau dibuat suatu daftar target pembunuhan ini ada lima nama lebih yang tercantum di dalamnya. Secara jumlah memang tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Nazi. Tetapi, tetap saja tidak dapat dibandingkan dengan hal itu. Bahkan, aku telah membuat suatu rencana matang untuk mengeksekusinya. Itulah suatu kebenaran ketika apa yang tersembunyi di balik topeng disinari oleh terang Injil. Betapa busuknya diriku!
'Mengasihi' dan 'mengampuni' menjadi terminologi yang tidak ingin aku dengar pada waktu itu. Sebaliknya, 'bunuh' menjadi terminologi yang seolah-olah satu-satunya yang terus-menerus berkumandang di telinga. Pernah dalam suatu waktu aku mempunyai kesempatan untuk membunuh. Suaranya jelas. Pergi dan lakukan.
"BUNUHLAH"
"KASIHILAH"
"BUNUHLAH"
"AMPUNILAH"
"BUNUHLAH"
Suara-suara itu sangat menyiksa. Begitu terus sampai aku sangat tidak tahan. Menahan nafsu bejat yang terus-menerus menggema dalam hati. Membuat semua hal menjadi buram. Tidak jelas. Lalu, siapa yang harus dibunuh? Secara instan daftar nama pembunuhan menjadi satu nama: Samuel Ivander Aritonang.
"TAPI BUKA DULU TOPENGMU"
"Buka dulu topengmu biar ku lihat warnamu"
Peterpan - Topeng
Sebuah single hits dari band Peterpan yang sempat booming pada masa itu dalam album pertama mereka tahun 2003, Taman Langit tiba-tiba saja mengingatkanku. Judulnya sangat mudah untuk diingat. Topeng. Cukup sederhana bukan?
Bukankah ini yang Allah minta? Melepaskan topeng. Memperlihatkan warna kepada Sang Seniman. Warna yang senada dengan seonggok bangkai. Pernah mencium busuknya bangkai? Warna yang sama kentalnya dengan tinja. Pernah mencium aroma kotoran anda sendiri? Warna yang didefinisikan dengan satu kata, menjijikkan! (Aku pun ingin muntah sekarang)
Suatu ketika ketika Raja Daud telah berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria, Nabi Natan datang dengan perumpamaan orang yang memiliki banyak domba kemudian mencuri satu-satunya domba yang juga jadi kesayangan orang lain itu. "Orang itu sepantasnya mati", dengan yakin Daud mengatakannya. "Engkaulah orang itu", Natan membalas. Cukup dengan tiga kata Natan menghancurkan topeng yang menghalangi pandangan mata Daud. Kebusukan hati yang terungkap kemudian melahirkan doa yang begitu murni. Doa dalam Mazmur 51 terlahir dari peristiwa penghancuran topeng Daud.
Sama seperti Daud, aku pun terkadang tidak bisa melihat betapa busuknya diriku karena topeng yang menghalangi pandanganku. Namun, ada suatu hal yang juga membatasi pandanganku pada hal yang jauh melampaui diriku yang busuk ini. Hal tersebut adalah anugerah pengampunan. Bagaimana mungkin seseorang dapat melihat karya Bapa yang 'membunuh' Sang Anak di bukit tengkorak jika matanya masih terhalangi topeng? Dalam sudut pandang terhalangi topeng, peristiwa tersebut adalah tragedi. Tragedi dalam pengertian bahwa peristiwa luar biasa tersebut menjadi biasa saja. Namun, dalam sudut pandang terlepas dari topeng, peristiwa tersebut adalah sebuah pemulihan. Sebuah pandangan yang jelas melihat karya agung Allah.
Dalam sudut pandang yang tak terhalangi topeng aku melihat bahwa rencana pemubunuhan ini sebenarnya telah memakan korban jiwa di saat bahkan aku tidak jadi mengeksekusinya. Bukan mereka. Bukan diriku. Pribadi yang telah menjadi korban ini adalah Kristus. Dia rela mati demi menggantikan mereka ataupun diriku yang seharusnya mati. "... karena pada mulanya adalah sebuah masalah vertikal sebelum menjadi horisontal. Allah adalah satu-satunya pribadi yang terluka sebelum manusia menyakiti sesamanya."
"Dosa paling terasa berat setelah kita menerima anugerah pengampunan bukan sebelumnya. Pengampunan membuat seorang sadar akan banyaknya dosa ketika dia bertobat dan diampuni. Allah mendengar tangisan hati kita untuk datang kepada-Nya dalam pertobatan. Ini membuat dosa kita diampuni."
Ravi Zacharias - Cries of The Heart
-SOLI DEO GRACIA-
Catatan: aku merasa seperti telah dipersiapkan untuk menikmati Allah melalui buku ini.